Imajinasi Politik Dalam Tradisi Asyura

 


Umat Islam di dunia bersetia selama ribuan tahun pada tradisi Asyura setiap 10 Muharram. Tahun ini, Asyura diperingati pada 16 Juli 2024. Di Indonesia, ragam ritual Asyura dilaksanakan. Dari puasa, berbagi bubur, belanja tanpa menawar, kepungan suran, tabot atau tabuik, hingga pembacaan hikayat Hasan Husein.


Dalam 40 tahun terakhir, beberapa komunitas Muslim di nusantara mulai melihat dan tertarik pada tradisi Asyura yang berbeda dari Timur Tengah. Terutama, yang lebih bernuansa artistik dan estetik dari negeri Persia dan sekitarnya.


Bedanya, tradisi Asyura mereka lebih banyak tarian duka, syair-syair kesedihan, dan aksi-aksi teatrikal menceritakan  kembali peristiwa memilukan dan memalukan dalam sejarah Islam. Pembantaian keluarga dan pengikut Husein, putra Fatimah, cucu Nabi Muhammad di lahan tandus Karbala, Irak, pada 10 Muharam ribuan tahun lalu. 


Memilukan, karena peristiwa itu menjadi duka terdalam keluarga nabi dan umat Islam sedunia. Memalukan, karena pembantaian itu dilakukan oleh umat Islam sendiri. Raja Yazid waktu itu yang bertahta di Damaskus, Suriah memerintahkan Gubernur Kufah di Irak, Ibnu Ziyad untuk melakukan pembantain itu.


Konon dikatakan, Raja Yazid sebagai pewaris tahta dari ayahnya, tidak memiliki kualifikasi seorang pemimpin (khalifah), punya kebiasaan mabuk, dan memamerkan tirani secara terbuka. Husein bersama keluarga dan 70 pengikut setianya menentang pemerintahan semacam itu. 4000 pasukan dari Kufah diperintahkan mengepung dan membunuh semua laki-laki dalam rombongan Husein. Tidak ada yang tersisa, kecuali seorang remaja laki-laki yang sakit-sakitan, bernama Ali Zainal Abidin.


Dr. Hasan Tiro menulis dalam bukunya The Price of Freedom, the Unfinished Diary, bahwa peringatan Asyura untuk mengenang perjuangan politik Husein dan pengikutnya sudah dilakukan di Aceh lebih 500 tahun lalu. Pada setiap momen Asyura, umat Islam di Aceh membacakan kitab hikayat Hasan Husein yang merekam peristiwa berdarah itu.


Bagi Tiro, tradisi Asyura yang mengandung nilai-nilai dan imajinasi politik revolusioner bukan hanya milik Muslim Syiah. Muslim Sunni di nusantara dan Aceh juga mempraktikan itu ratusan tahun lalu. Syiah dan Sunni pada awalnya melihat Asyura dengan cara yang sama, bukan sekedar tradisi ritual religius yang kehilangan imajinasi politik.


Namun, kenapa tradisi Asyura di nusantara mulai kehilangan nilai-nilai perjuangan dan imajinasi politik emansipatoris?


Gus Baha dalam suatu ceramah memberi jawaban agak memuaskan.  Terdengar simplifikasi, tetapi penjelasannya masuk akal. Bahwa Muslim Sunni lebih diajarkan jalan politik Hasan, saudara Husein, yang memilih politik kompromi, berunding, dan berdamai dengan lawan-lawannya di internal umat Islam. Berbeda dari jalan Husein, yang diikuti oleh Muslim Syiah. Husein membangun jalan pikiran revolusi dan politik tanpa kompromi terhadap kezaliman penguasa.


Bagi Gus Baha, jalan politik Hasan dan Husein sama benarnya. Hasilnya memang berbeda. Sunni lebih banyak kompromi, berunding, dan berdamai dengan para penguasa di negeri mereka. Dalam doktrin teologisnya, di negeri Sunni lebih baik punya penguasa tiran ketimbang tidak punya penguasa yang mampu mengatur ketertiban umum. Ketertiban dan kedamaian lebih penting dari keadilan.


Doktrin ini dipegang teguh oleh sebagian besar ulama di Indonesia. Kalangan Nahdiyin (NU) dan Muhammadiah kelihatannya bersepakat dengan jalan politik kompromi dan mengutamakan ketertiban umum. Politik emansipatoris yang berkarakter menggugat, kritis, dan mengguncang terdengar agak asing dari tradisi umat Islam di Indonesia.


Teori ini juga bisa menjelaskan gejala umum keterbelahan umat Islam dalam merespon isu Palestina. Negara-negara mayoritas Sunni percaya kasus Palestina-Israel harus diselesaikan dengan jalan politik, diplomasi, atau jalur perundingan. Saat yang sama mereka mengusulkan solusi dua negara, dimana Palestina dan Israel harus jadi negara tetangga yang hidup rukun damai.


Sebaliknya, komunitas Muslim Syiah percaya jalan revolusi nasional satu-satunya jalan yang tepat bagi rakyat Palestina. Mendukung kemerdekaan Palestina bermakna memaksa Israel angkat kaki dari tanah yang mereka duduki secara keseluruhan tanpa kecuali.


Kedua imajinasi dan aspirasi politik umat Islam itu berakar dari perbedaan mereka memaknai tradisi Asyura. Para pemimpin negara-negara Sunni yang terbiasa melupakan perjuangan Husein atau tidak menganggap penting peristiwa Karbala saat mereka memperingati Asyura, dengan mudah melupakan Palestina.  


Asyura pada akhirnya memang, bukan sekedar tradisi religi. Pada tubuh kelembagaan Asyura menyimpan rahasia terdalam doktrin-doktrin dan imajinasi politik umat Islam. Orang-orang yang melihat Asyura sebatas tradisi keagamaan biasa, mereka pasti kehilangan imajinasi politik pembebasan (emansipatoris) yang penuh terjal, lika-liku dan berdarah.


Untuk merawat suasana damai di negeri ini, dimana umat Islam tetap jinak patuh dan tertib pada tatatan politik korup yang dipamerkan para elit penguasa, cukuplah mudah. Halangi para agamawan dan cendikiawan membawa lari pemaknaan Asyura terhubung dengan perjuangan Husein putra Ali dan Fatimah. 


Intinya, lakukan deradikalisasi Asyura!

Tulisan ini sudah tayang di Republika.

Oleh Affan Ramli, Pengajar Pedagogi Kritis

#####

Saat tulisan ini tayang di Republika, saya dan YahDeelat sudah duduk di aula ICC (Islamic Cultural Centre) di Pejaten, mengenang peristiwa Karbala, memperingati kesyahidan Imam Husein. PakDhe redaktur Republika teman saat saya masih kuliah di Magister Komunikasi yang mengabari.

"Tulisan abangmu sudah tayang ya.." begitu isi WA nya.

Sembari menunggu acara dimulai 19.30 WIB, saya berbisik pada YahDeelat.

"Kapan kita berangkat Arbai'n?"

"Tahun depan, Insya Allah" jawabnya mantap. 

Ini pengalaman pertama saya mengikuti acara Asyura di ICC, berbeda dengan ceramah pada umumnya, susunan premis Doktor asal Iran itu, rapiii sekali. dimulai dengan sifat Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, lalu bergerak pada Manifestasi Tuhan dapat juga turun pada manusia, lalu bergerak bagaimana mencintai Imam Husein sebagai wajah Tuhan.

Malam ini malam pertama yang begitu berkesan buat saya. Belajar mencintai Ahlul Bait. Insya Allah. Seharusnya tradisi mengenang kesyahidan Imam Husein bisa dijadikan tradisi wajib bagi umat islam, bukan hanya tradisi Syi'ah Ali, seharusnya menjadi bagian dari tradisi Sunni juga. Jika semangat Karbala menjadi bagian dari tradisi bangsa ini, saya yakin.. kita tak akan begitu mudah berkompromi dengan  kejayaan pemimpin korupsi. Perlawanan harusnya sudah ada dalam diri setiap muslim, melawan ketidakadilan meski dengan tangan kosong sekalipun.


Bersama Jamaah Asyyura


Selamat Hari Asy-syura. Labbaikka Ya Imam Husein. 


Comments

Popular Posts