KEPERGIAN PEREMPUAN YANG SAYA PANGGIL MAK
Berita Duka
Saat kabar itu datang, saya sedang bertugas mengawal konser musik di Griya Jenggala, konser yang diadakan Pak Bos Dedi Sjahrir Panigoro. Saya sudah membantu konsep acara sejak beberapa minggu sebelumnya. Dimulai dengan membuat tema dan judul konser, hingga membuat konsep undangan yang sesuai tema konser. Karena kali ini kami menghadirkan seorang pianist kelas dunia, dari Bulgaria. Tak enak rasanya saya meninggalkan acara ini, namun tak ada pilihan, selain saya harus berkemas malam itu juga.
Undangan konser |
Griya Jenggala sebelum konser |
Minggu malam setelah bercerita banyak hal dengan YahDeelat, saya coba tidur. Namun sekitar jam 1.30 dini hari, saya terbangun mendadak sakit gigi. Benar-benar tak enak. Seumur-umur saya belum pernah sakit gigi. Sampai pagi, sakit giginya berangsur pulih. Sesaat sebelum subuh, saya membaca pesan kakak di grup keluarga.
“Lakee doa beuh bak bandum aneuk Mak, geuknyan sang brat kalinyoe, ka hana sadarkan diri lee dari poh 2 dini hari” – Untuk semua anak Mak, tolong doakan Mak, sepertinya kali ini agak berat, Mak enggak sadarkan diri lagi dari pukul 2 dini hari”
Membaca pesan itu, perasaan saya tidak nyaman, teringat sakit gigi yang tiba-tiba datang semalam. Setahun terakhir ini, Mak memang sering sakit. Saya beberapa kali pulang untuk melihat Mak, menemaninya juga saat dirawat di Banda Aceh. Tapi kali ini, sakitnya seperti menjadi sebuah pertanda.
Saya forward pesan kakak di WAG kepada YahDeelat.
“Kiban rencana sayang, peu perlee jak woe bagah? Bagaimana rencanamu sayang, perlu pulang lebih awal?
Saya dan YahDeelat memang berniat pulang ke Aceh Barat Daya, karena salah satu dari keponakan kami menikah. Tapi saya masih punya beberapa kegiatan yang tidak bisa ditinggal sampai dengan 20 Desember. Namun, berita tentang koma-nya Mak membuat kami berpikir ulang.
Pagi itu, saya berangkat ke Medco seperti biasa, sembari berharap ada kabar baik setelah hari ini. Siang hari saya masih bergegas ke Griya Jenggala untuk mengecek semua persiapan konser malam nanti. Sembari tetap memantau kabar dari kakak.
“Berangkat sigeuh manteung sayang- Pulang besok saja sayang” pesan YahDeelat siang itu.
Setelah Ayah menelpon saya sekitar pukul dua siang, dokter menyarankan kami untuk membawa Mak ke Banda Aceh setelah lebih dari 12 jam, Mak tidak sadarkan diri juga. Hati rasanya semakin tidak karuan. Sakit gigi saya kumat lagi, kali ini sampai berdenging-denging di telinga, sangat tidak nyaman. Baru kali ini saya tahu, beneran deh enggak enaknya sakit gigi.
Hujan lebat sekali sore itu, tim Martell untuk konser sudah berkumpul di Griya Jenggala. lewat asar Saya mendapat telpon dari kakak, saya tahu ini bukan berita biasa, saya tahu ada yang berubah mulai hari ini juga.
“Da, Mak ka awai peutinggai tanyoe mandum- Da, Mak sudah duluan meninggalkan kita semua”
Saya melihat jam di pergelangan kiri, pukul 16.30 WIB. Hujan sore itu semakin lebat. Saya terdiam sejenak, lalu mengatakan pada Teh Eva dan Kak Luci (keduanya tim konser)
“Bener teh, kayak aku ngomong tadi. Mamaku meninggal dunia” Teh Eva bangun dari duduknya langsung memeluk saya.
Saya berusaha menahan tangis di depan teman-teman. Sampai akhirnya memutuskan masuk ke ruang panitia dan memilih menangis di pojokan. Saya hubungi YahDeelat yang sedang meeting. Telpon saya tidak diangkat. Saya coba tenangkan diri, menarik napas dalam-dalam. Saat itu juga, sakit gigi saya mendadak hilang.
“Woe aju jino beuh sayang, Da perlee peuteunang droe. Pesan tiket woe aju, singeuh abang tueng Da di bandara”
Sesaat sebelum saya pulang, Pak Bos DSP dan ibu Soomie datang memeluk saya. Dua orang bos besar ini selalu hangat seperti keluarga dan rumah. Beliau siapkan tiket untuk saya pulang ke Aceh.
Malam itu, saya meninggalkan Griya Jenggala, justru di saat acara hendak dimulai. Ivan Yanakov sebelum konser sempat memeluk saya sembari mengucapkan sedih yang mendalam atas kepergian Mak.
"I am sorry to hear that. My deepest condolences for the passing of your mother"
Saya berdiri di tepi jalan raya, jam macet Jakarta sedang di puncaknya. Tangis saya semakin dalam.
“Abang um inong bang dari sino, beurayeuk saba sayang..” saya baca pesan WA YahDeelat sekilas.
Hanya itu kalimat yang menguatkan saya. Kami berdua selalu berkabar meski jauh, setiap saat dan nyaris setiap waktu, kecuali saat sedang meeting dan berkegiatan lainnya. Sebuah keberuntungan bagi saya memiliki pasangan sejiwa yang membersamai dalam semua hal.
Sesaat sebelum boarding |
Saya meninggalkan rumah sekitar pukul 5 pagi. Garuda membawa saya menuju Banda Aceh sekitar pukul 7.30. Tepat pukul 10.30 siang, saya mendarat di Banda Aceh. Dari jauh sosok YahDeelat menunggu saya dengan senyuman.
“Abang…” Saya menggumam, dia tahu saya sedang lemah, butuh pelukan darinya, erat sekali pelukannya pagi itu.
Rumah Duka
Kami berdua pulang ke Aceh Selatan. Disambut dengan pelukan dan tangisan Ayah. Selama ini saya tidak pernah melihat Ayah menangis, tepat di depan mata saya. Kepergian Mak ternyata menjadi pukulan yang sangat berat bagi Ayah.
Saya tidak sempat melihat jasad Mak. Tidak memungkinkan bagi saya dan adik saya di Bengkalis untuk tiba kurang dari 12 jam. Kami hanya mengikhlaskan saja kepergian Mak dengan doa, mengunjungi makamnya, mengirimi doa dan mengatakan bahwa saya sangat menyayanginya.
Ayah dan Mak memang pasangan suami istri yang dituakan dan dihormati. Pelayat datang silih berganti. Setiap kali ada rombongan yang datang dan berdoa, Ayah selalu memberikan kata sambutan. Semua kata-kata Ayah terasa menyayat hati. Siapa saja yang mendengarkan seperti tenggelam dalam kesedihan yang Ayah rasakan.
“Saya ini tidak seperti yang lainnya ketika kehilangan seorang istri. Lainnya masih ditemani anak-anak mereka, namun saya seorang diri di rumah ini. Merasakan setiap kesedihan lebih mendalam. karena anak-anak kami semuanya berada di luar kota. Saya ibarat pohon tua yang memiliki dahan lemah, tersungkur dan bersiap jatuh. Saat istri saya pergi meninggalkan kami, saya merasakan separuh jiwa saya pun ikut terkubur bersamanya”
Lelaki yang mengantarkan kekasihnya |
Suara sesenggukan terdengar di semua sudut. Akhir usia Mak menjadi sebuah cerita baru, betapa Mak dicintai banyak orang dan utama dicintai oleh Ayah, kekasih hatinya.
“Abang enggak minta apapun, cukup warisi kesetiaan Mak, agar pernikahan kita hingga di frekuensi dimensi selanjutnya” ucap YahDeelat saat pernyataan Ayah begitu menggugah perasaan kami berdua.
Saya dan Aki (adik saya) di makam Mak |
Saya dan Mak
Saya tidak punya cerita khusus tentang Mak. Semua luka sudah saya kubur jauh-jauh, semua kesedihan di masalalu sudah saya maafkan dan damaikan dalam jiwa saya. Kami memang tidak pernah begitu dekat. Namun, nilai-nilai pengajaran Mak menjadi pelajaran tertentu bagi saya saat mendampingi Zira, Deelat dan anak-anak kami lainnya.
Mungkin, saya akan tutup cerita ini menjadi kisah yang tak mungkin bisa saya ulang lagi menjadi warna yang baru. Saya selalu menyayangi Mak, bagaimanapun hadirnya dalam hidup saya.
Selamat Jalan, perempuan yang sebagian kuwarisi raut wajahnya.
Aku selalu menyayangimu..
Pakaian dan Jilbab ini milik Mak. |
Comments
Post a Comment