Mendongkrak Penjualan, Perlukah Review Influencer?
Tulisan ini sudah tayang di kumparan.com di link ini
Peminat kuliner, pasti familier dengan nama-nama food youtuber atau program-program makan yang mainstream di televisi, seperti Makan Receh, Mantap Betul dan Bikin Laper. Bahkan banyak yang mengunjungi tempat makan yang direkomendasikan oleh program makan tersebut, setelah tergoda dengan tayangannya.
Cara influencer makan, menyuapi makanan dan obrolan-obrolan saat makan tersebut benar-benar menggoda. Kita yang awalnya tidak berselera makan, mendadak ingin mencoba, penasaran dan akhirnya menyambangi resto atau warung yang direkomendasikan tersebut.
Lalu, e-WOM seperti apa yang diinginkan oleh konsumen?
Karena penasaran dengan review dari Mike dan Ences Nabati di program makan Bikin Laper Trans7, akhirnya saya sekeluarga tergoda untuk menikmati kuliner minang dengan hashtag #TanpaGulaiSantan. Mendengar tagarnya tanpa gulai dan santan saja sudah membuat penasaran, ditambah lagi menu-menu yang ditampilkan di acara tersebut, super jarang ditemukan di rumah makan padang lainnya.
Masakan Padang-Gulai Cumi Daun Ubi |
Saat kami tiba di lokasi rumah makan yang berada di bilangan Jakarta Selatan ini, ternyata antrian sudah panjang, kursi dan meja sudah penuh semuanya. Ternyata rumah makan padang ini baru berdiri, karyawan yang terbatas, sementara pelanggan yang penasaran seperti kami, justru datang berombongan ke sana.
Saat melihat pemandangan seperti ini, akhirnya saya sadar bahwa ternyata review bergaya influencer ini sangat berpengaruh bagi pelaku bisnis. Baru sampai di sini, saya mempelajari hal yang lain, mengapa banyak konsumen yang penasaran sehingga rela datang dari berbagai daerah, hanya untuk menikmati menu makan padang tanpa santan ala Lado Padeh, Jagakarsa Jakarta Selatan.
Sebagai orang dengan latar pendidikan komunikasi bisnis, saya tergelitik untuk memahami, apa yang ditawarkan oleh Lado Padeh ini sehingga terjadi e-Word Of Mouth baik dari sisi influencer dan program makan di televisi, atau Word Of Mouth secara konvensional.
Menurut pemiliknya yang dipanggil dengan nama Uni Aie, "Kami juga enggak menyangka bakal dihubungi beberapa program makan, saat itu awalnya Makan Receh hubungi lewat Instagram, mereka memilih kami karena dianggap unik dan jarang ditemukan di Jakarta"
Word Of Mouth memang akan sulit terjadi jika tidak ada Unique Selling Point dari produk yang ditawarkan oleh Pelaku Bisnis dibanding kompetitor lainnya. Selain harus unik, pastinya produk atau layanan itu sangat dibutuhkan oleh konsumen.
Saya jadi ingat, saat awal Gojek beroperasi di Indonesia, positioning yang unik demi memenuhi kebutuhan konsumen yang merasa jalanan terlalu macet, terlalu banyak menghabiskan waktu. Tak sangka Gojek berkembang hingga di luar dugaan kita, merambah ke semua kebutuhan vital konsumen. Bahkan untuk membeli makanan pun kita menggunakan aplikasi Gofood untuk layanan pesan antarnya.
Ini pula yang saya perhatikan dalam keramaiannya rumah makan Lado Padeh, Jagakarsa. Meski antrian pelanggan offline berdatangan, antrian driver Gojek dan Grab pun tampak ramai di depan. Ternyata demikian besar pengaruh influencer dalam memperkenalkan produk kepada konsumen.
Selain unik, yang bisa kami temui sekeluarga saat makan di sana, juga kualitas dan rasa makanan, wajar kemudian menu-menu di rumah makan ini direview dan mendapat rating yang bagus dari Nces Nabati dan Mike.
Pengalaman viral seperti ini, bukan hanya dialami oleh Lado Padeh, masih banyak yang lainnya, seperti Es Kepal Milo, Odading, Seblak dan sebagainya. Namun keviralan itu tentu tidak akan bertahan lama jika pelaku bisnis tidak melakukan inovasi pada makanannya. Pada akhirnya, akan tenggelam setelah viral itu berakhir.
Di era digital, pertarungan brand dan merek semakin ketat. Semua pelaku bisnis berkompetisi menarik perhatian konsumen. Ibarat sebuah hubungan sepasang kekasih yang dimulai dengan perkenalan, pendekatan, melibatkan emosi di dalamnya, merasa suka dan jatuh cinta. Lalu ada kebutuhan memiliki dan melahirkan loyalitas, begitulah selayaknya yang dilakukan dalam proses membangun relasi dengan konsumen.
Setelah keviralan Lado Padeh dan beberapa makanan lainnya. Saya memahami bahwa kualitas makanan, cita rasa yang sama, keunikan dari produk itu sendiri menjadi kunci penting, WOM dapat terjadi dengan tujuan meningkatkan penjualan. Sementara influencer, hanya pendongkrak sesaat, justru WOM yang disampaikan dari mulut ke mulut, jauh lebih bertahan lama daripada WOM dari Influencer itu sendiri.
Mungkin seperti inilah yang dimaksudkan oleh Andy Sernovit dalam buku Word of Mouth Marketing: How Smart Companies Get People Talking- New York Times Best Seller. Bahwa pengalaman yang baik dan menyenangkan akan menimbulkan persepsi tersendiri bagi konsumen.
Jadi, jika ingin mendongkrak penjualan lewat WOM. Pastikan produk dan layanan yang diberikan kepada konsumen dapat menimbulkan pengalaman yang baik, sehingga melahirkan review dan WOM yang positif pula.
Aida Maslamah Ahmad
Penulis dan Pelaku Bisnis
Comments
Post a Comment