QUEEN BEE SYNDROME
Sharing di Universitas YARSI |
Kemaren saya sempat ngobrol banyak dengan seorang sahabat,
perkara bantuan dana untuk usahanya di salah satu BUMN. Ini sudah pengajuan
untuk kedua kalinya, tersendat di tengah
jalan, alasannya simple banget, terhalang hanya karena persaingan antara
direktur yang notobene keduanya perempuan.
Bukan sekali dua kali saya sering melihat kasus yang bisa
disebut “Queen Bee Syndrome”.
Mulai dari perseteruan perempuan mau lahiran cesar atau
melahirkan normal, mau menyusui atau pakai susu formula, kita merasa bersaing
berat dengan perempuan lain yang berada di lingkungan kerja dan profesi yang
sama, segala sesuatu jadi kita nilai, mulai dari baju, rambut, pacar,
banding-bandingin suami. Banding-bandingan
gaji dan gedean rumah siapa. Anak kurus diomongin, anak kegemukan dihebohin. Bahkan
(maaf) kadang kita kayak udah berada di
luar kontrol karena keinginan untuk menjatuhkan yang lainnya.
Queen Bee Syndrome ternyata bisa membuat seorang perempuan
lebih kejam kepada perempuan lain dibanding laki-laki. Mulailah muncul
gosip-gosip bahkan bisa jatuhnya ke fitnah, muncullah komen-komen yang bernada
kebencian, kita enggak akan pernah puas kalau belum bongkar semua keburukan
perempuan lain yang menurut kita menjadi competitor.
Pernah merasa begitu? Bisa jadi kita terkena syndrome satu
ini. Padahal, kita butuh punya solidaritas sesama perempuan , menghargai
perempuan yang lain, menghormati keputusannya dan memberi tepuk tangan untuk
keberhasilannya.
Sulit?
Saya akhirnya menyadari, sifat iri-irian begini, penyakitnya
gadis-gadis kecil saat kanak-kanak dulu. Lalu, saat sudah dewasa, jika kita
masih punya penyakit satu ini, apa mungkin kita belum tuntas dengan
perkembangan emosional satu ini?
Girls compete with each other
And women empower one another
We fix each’s other crown
Comments
Post a Comment