SAYA BISA MENGHINDARI YANG HARAM, TAPI SAYA SULIT MENGHINDARI YANG SYUBHAT
Saat saya masih SMP, Mama pernah bercerita, Ayah mendapat
promosi jabatan yang cukup baik saat itu, hanya saja beliau harus ditempatkan
ke kabupaten yang lain. Sebenarnya promo jabatan yang ditawarkan cukup
menggiurkan karena kondisi ekonomi keluarga saat itu sedang berat, saya tiga
beradik saat itu semua bersekolah merantau dan butuh biaya besar.
Namun, ada jawaban Ayah yang sangat mengejutkan di usia
remaja saya.
“Ayah
enggak ambil jabatan itu nak, karena kondisinya terlalu beresiko. Hari ini
sekuat tenaga, Ayah mampu menolak uang yang HARAM, tapi sulit sekali mengelak
dari uang yang SYUBHAT, dan kamu perlu tahu nak, SYUBHAT pun lebih menjurus
pada yang HARAM”.
Jawaban
Ayah saat itu masih sangat membekas di memori saya, dan atas izin Allah,
mungkin tidak akan hilang. Dan itu menjadi titik awal pendidikan karakter dari
ayah untuk kami, mengenai keberkahan.
Hari
ini saya bertemu bu Sri Hayuni, Wanita langka yang prinsipnya mirip dengan ayah
saya. Bu Sri berselisih paham dengan banyak orang karena idealisme beliau untuk
tidak mengambil satu sen pun uang hasil mark-up. Bahkan beliau berani keluar
dari BI setelah 14 tahun masa pengabdiannya, karena berbeda prinsip dan tidak
bisa menerjang sistem.
“Jika
uang 1 juta rupiah pegawai bawahan harus diaudit dan diintrogasi lisan, mengapa
untuk uang 1 Milyar, para pemegang jabatan tidak bisa diaudit dan dimintai
pertanggungjawaban lisan? Mohon maaf, saya tidak bisa menandatangani apapun
yang tidak sesuai fakta yang saya temukan. Saya enggak mau masa tua saya justru
dipanggil KPK karena terjerat kasus ini dan itu”
Orang-orang seperti ayah saya, ibu Sri, dan masih banyak mungkin orang-orang serupa
mereka, sungguh manusia langka di zaman hedonis ini. Saya yakin mereka selalu
menaruh TUHAN DIMANAPUN mereka berada.
Comments
Post a Comment