SEPEDA ONTHEL
Sepeda Onthel sebenarnya berawal
dari Eropa. Variasinya pun berubah seiring waktu. Di Indonesia sepeda onthel
dibawa oleh Belanda dari negerinya, lalu banyak digunakan di Indonesia sekitar
tahun 1940-an hingga 1970-an, sebagai alat transportasi dan banyak digunakan
oleh keluarga-keluarga bangsawan saat itu.
Saya punya satu cerita mengenai
sepeda onthel yang sedikit menguras emosi. Satu kali seorang ibu bercerita pada
saya, pasca tiga hari melahirkan, ia menangis tersedu-sedu, seluruh sendi-sendinya
melemah, Apa gerangan? Mendadak bayi yang baru ia lahirkan, belum genap berumur
tiga hari mengalami penyakit aneh, bayi itu tidak menangis terlalu nyaring,
tubuhnya seperti kekurangan oksigen, nampaknya keracunan, warna tubuhnya mulai
membiru, dan saat disentuh, kulitnya terasa dingin.
Di luar, hujan turun sangat lebat,
satu-satunya kendaraan yang dimiliki keluarga ini hanya sepeda onthel. Sang
ayah berdiri di depan pintu, ditatapnya langit yang pucat di sana, suara tangis
anaknya semakin lama semakin lemah. Hatinya luka saat melihat istrinya tak
lekang memeluk bayi mereka, uang di kantung celana lelaki muda itu hanya
tersisa 15.000 rupiah.
“Ya Allah, harus kubawa kemana
anakku?” diantara deru hujan yang tak kunjung reda doa kian dipanjatkan.
Lelaki itu mengeluarkan jas hujan
berbentuk ponco, disiapkannya sepeda onthel butut peninggalan ayahnya. Sementara
istrinya segera berkemas.
“Pakaikan ia jaket dan selimut
hangat” perintahnya.
Sang istri segera duduk di boncengan
belakang, masuk ke dalam jubah hujan yang lebar. Kedua suami istri itu menembus
hujan, tak ada bedanya antara tangis dan air hujan yang membasahi wajah sang
Ayah. Sepeda onthel itu dikayuhnya terus, Mantri terdekat sekitar empat
kilometer dari rumah kontrakan mereka.
“Sabar nak.. sabar, kita hampir
tiba”
Setengah bergetar dan bibir yang pucat,
sang Ayah mengerem sepeda onthelnya di depan rumah mantri, pintu pagar mantri
itu tertutup rapat, digedor-gedornya beberapa kali, hingga akhirnya seseorang wanita
paruh baya berlari dengan payung membuka pintu gerbang.
“Pak Mantri baru pulang dari luar
kota, sekarang sedang istirahat” kata wanita itu.
“Tapi anak saya sakit, tubuhnya
membiru, tolong katakan pada pak Mantri” mohonnya sembari menghapus air hujan
yang terus mengguyur wajah.
Pintu gerbang dibuka, sepeda onthel
itu masuk ke halaman rumah Mantri. Sang istri keluar dari dalam jubah hujan
dengan raut wajah khawatir, bayi mungil
di gendongannya semakin pucat membiru.
Wanita pemilik rumah itu bergegas, Ibu
dan bayinya itu dipersilahkan masuk ke ruang tindakan. Pak Mantri bangun dari
tidurnya lalu bersegera memeriksa bayi sepasang suami istri miskin ini.
Dari balik jendela ruang tunggu, sang
Ayah menatap jari-jari sepeda onthelnya, semua basah, dan sebagian berlepotan
lumpur. Dihitungnya lagi jari-jari sepeda itu sembari berulangkali berdzikir.
Wajah gugupnya tak bisa ia sembunyikan. Anak keduanya diberi nama tangan-tangan
penyelamat, karena hari pertama kelahiran bayi itu, ia diangkat menjadi pegawai
tetap, kelahiran bayi mungil ini seperti pembuka keberkahan pintu rezeki keluarga
kecilnya.
Sudah
satu jam ia menunggu, suara tangis bayinya tidak terdengar lagi, suara tangis istrinya
pun tidak terdengar lagi. Derap langkah kaki pak Mantri mendekat ke arahnya,
punggung tangan pak Mantri terasa hangat di pundak.
“Alhamdulillah,
anak bapak baik-baik saja. Sekarang sudah tidur, warna kulitnya juga sudah
normal. Syukurnya dia segera dibawa kemari”
Lelaki
itu segera masuk ke dalam. Wajah cerah bayinya tertidur pulas di restbang, selang oksigen menutupi hidung
mungil itu. Dipeluknya punggung istrinya yang membungkuk memeluk bantal. Dari
balik jendela, hujan masih turun deras, sepeda onthel miliknya berdiri gagah di
tengah hujan.
“Allahu
Akbar, Allah sebaik-sebaik penolong kami. Makanya kunamai dirimu nak,
TANGAN-TANGAN PENYELAMAT- AIDA MASLAMAH AHMAD”
Benar,
bayi mungil berumur tiga hari yang sekarat itu adalah saya. Dan sepasang suami
istri itu adalah Ayah dan Ibu saya, lalu sepeda onthel selalu menjadi hal yang
penuh kenangan dalam hidup saya.
Sampai
akhirnya, cerita sepeda onthel ini saya ceritakan pada suami saya. Satu kalimat
yang saya ingat dengan baik “Allah memang sebaik-baik penolong, namun perlu
diingat benda mati sekalipun, jika ia dirawat dengan kasih sayang, ia juga
mampu setia pada pemiliknya dan menolong saat sulit”.
Comments
Post a Comment