BERPUASA, MELATIH MUJAHADAH JIWA
Ibadah puasa pada hakikatnya adalah
sebuah ritualistik bagi ummat beragama, puasa sudah dilakukan jauh sebelum
Islam datang, dalam agama-agama Hindu, Budha pun memiliki ritual berpuasa,
meski dalam esensi dan pelaksanaannya sangat berbeda satu dengan lainnya.
Dalam priode Islam sendiri, ibadah
puasa sudah ada sejak Nabi Adam, As. Kemudian diberikanlah ketentuan bahwa pelaksanan puasa khusus ummat
Rasulullah dilaksanakannya di bulan Ramadhan, kendati pun demikian ibadah Puasa dari Nabi Adam hingga masa Rasulullah SAW memiliki satu tujuan yang sama yaitu mencapai derajat Taqwa (Al-Baqarah ; 183).
Pelaksanaan ibadah puasa sebenarnya
mencerminkan pada pengendalian diri, menahan keinginan terhadap
kebutuhan-kebutuhan fisik, mulai dari makan, minum dan kebutuhan seksualitas.
Ternyata efek “mengendalikan diri” bukan hanya sehat bagi tubuh namun
memberikan gizi bagi jiwa.
Jika bicara teori Masslow, mungkin
kita akan disuguhi sebuah teori yang mengatakan bahwa manusia akan
berkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan yang merujuk pada kebutuhan-kebutuhan
dasarnya saja, sehingga ketika seorang manusia tidak terpenuhi kebutuhan
dasarnya maka akan melakukan kerusakan. Mungkin ini akan mirip dengan penafsiran dari hadist “Fakir mendekatkan pada kekufuran.”
Namun berpuasa tentu saja tidak sama
dengan posisi seseorang yang tidak makan dan minum karena kondisi fakir yang
berlebihan. Ibadah puasa dibangun dengan niat yang kuat, ibadah pada Allah
sehingga menahan diri dari makan dan minum menjadi sebuah sarana mendekatkan
diri pada Allah, sementara kondisi melarat, terpaksa tidak makan akan sangat
berbeda dengan Ibadah puasa yang didasarkan pada niat lillahi taala tadi. Di
sinilah yang dimaksudkan bahwa puasa akan menjadi mujahadah jiwa seperti pada
judul tulisan ini di atas.
Pernah suatu kali seorang santri
saya menanyakan, buat apa orang miskin tetap berpuasa, sementara mereka sudah
terbiasa menahan lapar dan dahaga. Sepertinya puasa akan sangat cocok jika
dilakukan oleh orang-orang kaya yang tidak pernah kekurangan makanan, sehingga
mereka bisa merasakan bagaimana sulitnya menahan lapar selama 12 jam lebih.
Memang tidak ada yang salah dengan
pernyataan yang demikian, namun tentu saja hukum ibadah puasa tidak
memilih-milih golongan, pangkat atau jabatan tertentu saja. Namun ibadah puasa
memiliki manfaat bagi setiap orang untuk mencapai derajat taqwanya
masing-masing.
Setidaknya ada beberapa hal yang
sangat membantu proses pematangan kejiwaan seseorang ketika puasa dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
Pertama, Menumbuhkan rasa cinta kasih kepada
sesama. Dalam hadist Muslim dikatakan “Orang Islam itu seperti satu tubuh, yang
apabila salah satu anggotanya sakit, maka akan terasa sakit pada seluruh tubuh
(HR.Muslim)”
Bagi yang terbiasa hidup berkecukupan, dengan
berpuasa akan merasakan empati dan sosial yang jauh lebih tinggi dari
sebelumnya. Menahan diri selama 12 jam lebih
setiap harinya di bulan Ramadhan, seperti sebuah training pemantapan
diri, merasakan hidup dalam kekurangan, menahan lapar dan haus, sehingga
menumbuhkan rasa cinta dan kasih terhadap kaum yang papa.
Puasa akan mendidik jiwa kaum
muslimin yang melaksanakan puasa dengan sungguh-sungguh sehingga mampu memaknai
bagaimana rasanya hidup dalam kondisi hanya makan dua kali sehari atau bahkan
hanya sekali sehari.
Kedua, Membentuk jiwa yang penyabar,
“Puasa itu setengah dari kesabaran
(HR.Muslim)” ini bermakna bagi mukmin yang memiliki niat berpuasa
mengharapkan Ridha Allah saja.
Ini
yang saya katakan tadi bahwa teori Masslow yang menyatakan bahwa seseorang akan
berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya akan melakukan kekejian
dan kecurangan-kecurangan jika kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi.
Pemahaman ini tentu saja tidak akan
berlaku untuk orang-orang mukmin yang berpuasa. Puasa, menahan lapar, dahaga
dan kebutuhan dasar lainnya sebagai fokus mencari sesuatu yang lebih dari
kenyang dan puas, namun lebih kepada proses mendekatkan diri pada Allah semata.
Orang-orang yang terbiasa lapar di
kala puasa dengan lapar di saat tidak berpuasa akan merasakan dua hal yang
terlihat sama namun sangat berbeda dalam segi keimanannya. Lapar karena kondisi
kekurangan sering kali membuat seseorang kehilangan akal sehatnya, keinginan
untuk memenuhi kebutuhan perut mampu menghalalkan segala cara. Namun akan sangat berbeda dengan orang yang
menahan lapar karena bagian dari niat berpuasa untuk mencari ridha Allah. Maka
proses menahan lapar dengan berpuasa akan membentuk kondisi kejiwaan yang
stabil dan lebih sabar menghadapi dalam kondisi apapun.
Ketiga, Menambah Kecerdasan.
Bagaimana puasa mampu menambah tingkat kecerdasan atau cara berpikir seseorang?
Selama berpuasa pemandangan pertama kali yang sering kita lihat adalah puasa
membuat seseorang bermalas-malasan atau kurang bergairah bukan? Sebenarnya dua
hal ini erat hubungannya dengan terlalu banyak makan atau terlalu banyak tidur
selama bulan puasa, sehingga cenderung malas untuk melakukan kegiatan lainnya.
Ini juga yang dikatakan oleh Luqman al hakim pada anaknya“Wahai anakku! Apabila perut itu padat. Maka pikiran tertidur.”
Ibadah puasa sebenarnya memiliki
efek positif yang sangat besar. Jika kita tilik lebih dalam, akan banyak hal
perubahan yang terjadi pada seorang mukmin yang berpuasa. Ada kedisiplinan dari
bangun tidur, makan lalu berbuka puasa. Ada kesadaran besar akan pengawasan
Allah selama melakukan puasa.
Lalu bagaimana puasa mampu membuat
seseorang lebih kreatif dan lebih cerdas? Perumpaannya akan seperti ini. Ketika
seseorang yang hidup penuh dengan kecukupan, semua tersedia maka biasanya akan
enggan untuk menggunakan fungsi otaknya secara optimal. Berbeda dengan
seseorang yang hidup harus berjuang, berpikir keras untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya di kota besar yang penuh dengan persaingan
misalnya, maka kemungkinan besar untuk berpikir kreatif dan menggunakan fungsi
otak dengan optimal akan menambah tingkat kecerdasan seseorang. Akan ada
perubahan prilaku bekerja optimal di saat berpuasa yang dilakukan demi Allah
SWT.
Seperti itulah puasa mampu
mentreatment jiwa-jiwa kaum mukmin yang melaksanakan ibadah puasa dengan
sebenar-benarnya. Jika ingin mendapatkan ketiga hal tersebut, hendaknya dalam
setiap jiwa kita menanamkan niat berpuasa karena Allah sehingga mencapai
derajat taqwa dan keuntungan-keuntuangan secara psikis dari ibadah puasa
lainnya. Insya Allah!
Aida, M. A
Penulis
Founder Maslamah Foundation
CEO Batavia Publishing
Comments
Post a Comment