JANGAN MAU DINIKAHI, KARENA 3 HAL INI
Foto dari sini |
Mungkin postingan ini sedikit dikhususkan bagi laki-laki dan
wanita yang ingin menikah lagi, karena kegagalan pada pernikahan yang
sebelumnya. Saya tidak bersengaja membahas ini dengan seorang teman yang sudah
dua tahun menjadi single parent,
pasca perpisahan dengan mantan istrinya, yang membuahkan 3 orang anak yang
masih balita.
Bagi seorang
lelaki yang aktif, bukan perkara mudah mengurusi 3 anak sekaligus, mulai dari
mengantarkan ke sekolah, menjamin anak-anak pulang ke apartemen dengan selamat
dan ditemani belajar di malam hari, ini bukan perkara yang mudah, akunya pada
saya di sela-sela diskusi kami tentang program kerja.
Namun,
kenyataannya saya bisa melihat ia cukup telaten mengurusi ketiga anaknya meski
tanpa pasangan. Tentu kemudian dia harus menyusun management waktu yang sangat
detail untuk membagi perhatian pada anak-anak dan fokus pada pekerjaannya
sendiri, yang juga membutuhkan komitmen yang tinggi.
Saya
tergelitik untuk menanyainya, kenapa enggak nikah lagi aja kak? Akhirnya dia
membuka cerita dengan saya siang itu.
“Ai…Gua enggak akan nikah lagi,
karena tiga alasan ini.”
1. Jangan menikah karena kebutuhan seksual
Saya selalu
mewanti-wanti orang-orang yang menikah karena kebutuhan seksual. Ini bukan
hanya dalam status membujang, menggadis ataupun menyendiri alias single parent ya. Karena ini juga
berlaku saat masih dalam status pernikahan. Salah kaprah menurut saya, ketika
menjadikan seksual sebagai kebutuhan dan tujuan utama dalam pernikahan, ini
benar-benar kondisi yang tidak asik sama sekali.
Ketika
pasangan dijadikan sebagai tujuan pemenuhan kebutuhan seksual, ini benar-benar
tidak menarik, mungkin sering kali kita menemukan pasangan yang kerap kali
ribut, namun selalu melahirkan anak lagi. Besok ribut sampai rumah berantakan
kayak mau pindahan, selang berapa bulan ternyata sudah hamil lagi, begitu
terus… Pernah kan lihat yang model begituan? Jangan-jangan justru kita sendiri
pelakunya? (hahahah)
Silahkan, jika tidak setuju dengan pendapat
saya. Tapi menurut saya, ini salah kaprah, penempatan seks dalam berumah
tangga. Setiap kali kita berantem, ribut dengan pasangan? Lalu melakukan
hubungan seksual, yang paling jelek justru masalahmu tidak kelar? So masalah hanya diredam dengan kegiatan
seksual, namun tidak juga menyelesaikan masalah (wow…)
Hubungan
seksual, baik dalam Islam atau secara kebutuhan biologis manusia dirancang
sebagai sarana untuk mendekatkan suami dan istri, menumbuhkan ketenangan,
kenyamanan, membuka komunikasi, merasakan cinta dan kasih sayang di antara
keduanya, namun, jika seksual dijadikan sebagai sarana kebutuhan pribadi, tanpa
memberikan kenyamanan dan rasa sayang pada pasangan, maka inilah yang disebut
seks yang salah.
Benar, dalam
Islam dinyatakan, hukum menikah bisa dari sunnah, makruh bahkan menjadi wajib
ketika seseorang tidak mampu berpuasa untuk mengontrol nafsu birahinya. Namun, kembali ditekankan bahwa seks bukan
sebagai tujuan utama, karena pernikahan justru untuk menyelamatkan satu hal
yang terlarang (baca; Zina), dengan mengajarkan banyak hal lainnya, yaitu
menghadirkan cinta, melahirkan keturunan dan menjadikannya sebagai ibadah bukan
sebagai kebutuhan biologis semata.
Kesalahan
itu semakin diperkuat, ketika seksual hanya bentuk memenuhi kebutuhan diri
sendiri, tanpa peduli dengan kebutuhan pasangan. Tentu semakin runyam, lalu
pernikahan ini untuk apakah? Seks dan kebutuhan diri semata kah? Dasar inilah
yang disampaikan oleh teman saya tadi, jangan menikah karena seks, apalagi
hanya untuk memenuhi kebutuhan seks pribadi semata. Pasanganmu puas enggak? (Bodo
amat…katanya) NO!
2. Jangan menikah untuk tujuan ekonomi
Warning yang kedua adalah menikah
karena ingin mengurangi beban Ekonomi. Pernah ya, kita melihat langsung banyak
sekali orang yang ingin menikah lagi karena ingin menyandarkan kebutuhan ekonominya
pada pasangannya kelak.
Jika kita menilik
kembali dalil-dalil yang berhubungan dengan pernikahan “Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan
Ridha-Nya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi” (HR. Thabarni). Dalam hadits lain
disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang menikah untuk
menjaga diri dari kemaksiatan” (HR. Turmudzi dan Nasa’i)
Jadi,
pada dasarnya, tujuan untuk menikah adalah untuk menjaga diri dari kemaksiatan,
ibadah dan keberkahan, sementara kekayaan dan kemapanan secara ekonomi akan
diperoleh sesuai dengan janji Allah. Yang perlu digarisbawahi, bukan menikah
dengan tujuan ekonomi, dengan sangat bersengaja mencari pasangan yang akan kamu
nikahi adalah orang yang berkecukupan, kaya raya ataupun mampu melunasi
hutang-hutangmu, maka bisa dilihat bagaimana pernikahan dengan tujuan yang
seperti ini akan menjadi ibadah setengah ad-dien? Karena yang dicari
semata-mata untuk mengurangi hutang-hutang, beban ekonomi dan kesulitan
hidupnya. Setelah itu selesai, apa kabar pernikahan ini?
Lain
halnya dengan keutamaan dalam menikahi janda-janda miskin yang memiliki anak
yatim, janda yang ditinggal mati suaminya, memiliki beban yang berat dalam
ekonomi. Jika seseorang menikahi untuk meringankan bebannya dan memelihara anak
yatim, itu menjadi perkara yang berbeda dengan orang-orang yang ingin menikahi
pasangan kaya raya hanya untuk kebutuhan ekonominya sendiri.
Dari Abu Hurairah, berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السَّاعِي عَلَى اْلأَرْمَلَةِ وَالْمَسَاكِيْنِ، كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَكَالَّذِي يَصُوْمُ النَّهَارَ وَيَقُوْمُ اللَّيْلَ
“Orang yang berusaha menghidupi
para janda dan orang-orang miskin laksana orang yang berjuang di jalan Allah.
Dia juga laksana orang yang berpuasa di siang hari dan menegakkan shalat di
malam hari.”
Lalu, bagaimana jika ada
pribadi-pribadi yang ingin menikah karena faktor ekonomi? Karena keinginan
untuk memiliki mobil pribadi yang bisa dibelikan oleh calon pasangan, lalu bisa
jalan-jalan ke Eropa? Enggak khawatir dibilang matre? (heheheheh)
3. Jangan menikah karena ingin memiliki baby
sitter untuk anak-anak
Gambar dari sini |
Seorang lelaki ataupun wanita, jaman sekarang memiliki bargaining yang sama kuatnya, karena keduanya mampu bekerja, berkarya dan memiliki posisi penting dalam pekerjaannya.
Tidak ada yang salah, ketika ingin menikah lagi, lalu memilih dan memilah
calon ibu/ayah yang manis dan baik untuk anak-anaknya. Seorang suami butuh
pasangan yang bisa mendidik anak-anaknya dan saling sokong bersama dalam
mengasuh anak-anak. Enggak mau dong, kalau ibu tiri dianggap kejam, dan enggak
rela kalau ayah tiri menjadi perusak bagi anak-anaknya.
Namun, yang ditegaskan di sini adalah, menjadikan pasangan sebagai
pendidik satu-satunya dan membebankan tugas mendidik dan mengasuh anak-anaknya
dari mulai mengantarkan ke sekolah, makanan, mengaji dan mengajarkan konsep
berpikir, ini sungguh hal yang tidak balance.
Jadi, jangan heran, jika dari mulut pasangan akan keluar kalimat seperti ini,
“Jadi, Lu.. Nikahi Gua
buat jagain anak-anak Lu?”
Bersiaplah akan gagal lagi jika menikah karena tiga faktor tersebut di
atas. Menikahlah dengan tanpa sebuah beban, menikahlah untuk sebuah ibadah,
memiliki ketenangan jiwa, perbaikan kualitas komunikasi yang salah pada pernikahan yang sebelumnya.
Percayalah, seks akan menjadi semakin indah ketika pernikahan diutamakan
sebagai janji di hadapan Tuhan, ada kebutuhan untuk beribadah kepada Allah,
sehingga mencapai ketenangan di dalamnya. Seks menjadi ibadah yang dinikmati
bersama bukan hanya pemenuhan kebutuhan pribadi semata.
Dan percayalah, pernikahan yang didasarkan pada keyakinan akan janji
Allah, akan memberikan kelapangan rezeki, keberkahan hidup sehingga
kekhawatiran untuk takut miskin dan menaruh beban hidup pada pasangan bukanlah
sebagai tujuan utama yang ditujukan di awal pernikahan.
Pasangan kita, adalah partner kita dalam membangun pondasi dan
generasi terbaik. Bukanlah orang yang
diberikan beban, namun menjadi team perumus visi dan eksekutor dalam menetapkan
pola asuh untuk anak-anak kita. Semoga rahmat Allah untuk kita semuanya.
Penulis
Aida, M.A
Comments
Post a Comment