Menjadi Penulis Lepas *Dimuat di Republika
Republika, 18 Maret 2014 |
Sejak Desember
2006 silan, Aida Ahmad memutuskan berhenti bekerja di sebuah organisasi donor
dunia, Australia Aid. Kebetulan saat itu masa kontrak kerjanya di kantor
tersebut sudah habis selama setahun. Sebenarnya, pihak kantor ingin
memperpanjang masa kerjanya. Hanya saja ia menolaknya dan memutuskan berhenti.
Ada
banyak pertimbangan yang membuat Aida memutuskan untuk berhenti bekerja.
Pekerjaan sebelumnya cukup menguras energi, bertemu banyak orang dengan berbagai
karakter, menghabiskan banyak waktu di luar rumah, dan kembali ke rumah dalam
keadaan lelah.
Sedangkan, ada
kebutuhan-kebutuhan suami yang juga ingin diperhatikan. Bahkan, ia sendiri
membutuhkan waktu untuk bersama suami. Saat itu, setelah menikah pada akhir
November 2006, suaminya bekerja di Jakarta, sedangkan ia di Aceh.
Mereka
membutuhkan waktu untuk bertemu dan jarak yang jauh. Selain itu, pasti akan
menghabiskan banyak biaya untuk bolak balik Jakarta-Banda Aceh. Akhirnya setela
kontraknya habis. Aida menyusul suami ke Jakarta.
“Pilihan menjadi
freelancer bukan pilihan yang dipilih tanpa dipikirkan masak-masak sebelumnya.
Tapi saat itu, menjadi freelancer adalah hal yang tepat untuk kondisi saya dan
keluarga. Setidaknya, saya lebih nyaman,” ujar perempuan kelahiran 27 Agustus
1982 ini.
Baginya menjadi
freelancer tidaklah menurunkan gengsinya. “Ketika saya sudah memilih, saya
menyerahkan sepenuh hati saya pada pilihan itu, termasuk dalam hal pekerjaan,
persepsi yang sudah tercipta itu akan memudar dengan sendirinya. Saya tidak
gengsi, bahkan saya bahagia dengan pilihan saya,” katanya.
Menurutnya, ia
bekerja bukan untuk orang lain, melainkan untuk dirinya sendiri. Seperti itu
cara dia menghargai dirinya sendiri sehingga menebar banyak manfaat untuk orang
lain.
Saat memutuskan
berhenti bekerja, kegamangan bukan datang dari dirinya. Namun dari keluarga
besarnya. Memutuskan berhenti bekerja dengan gaji yang baik menurut mereka itu
sangat disayangkan. “Butuh waktu untuk meminimalisasi kekhawatiran mereka saat
itu. Sampai akhirnya kekhawatiran itu benar-benar sirna saat ini,” ujarnya.
Ia mengakui
sebagian besar masyarakat masih memandang jika tidak berangkat kantor, tidak
berblazer rapi maka tidak dianggap bekerja. Padahal dalam ajaran agama yang
diutamakan itu adalah tetap bekerja.
Namun, ia
melihat di kota-kota besar yang sudah lebih pluralis, pemahaman seperti ini
sudah bergeser. Ia sering nongkrong di kedai-kedai kopi dan menemui orang yang
sebagian besar adalah freelancer. Mereka penulis manga, desainer, editor yang
bekerja dan meeting di tempat seperti itu.
Aida sendiri
memutuskan untuk menjadi seorang penulis lepas. Tak hanya itu, ia juga menjadi
motivator untuk remaja. Sebenarnya, Aida bisa saja mencari pekerjaan di
Jakarta, namun ada saja yang mengarahkan takdirnya menjadi seorang freelancer,
terutama saat ia hamil anak pertama.
Jadi, demi
menjaga kondisi tubuh dan kehamilan anak pertama, akhirnya ia memang banyak di
rumah dan mulai menulis berbagai hal yang ia alami di blog pribadinya. “Dari sini
awal mulanya saya menjadi seorang penulis dan akhirnya menerbitkan buku,”
katanya.
Segala sesuatu
yang baru dirintis di awal, ia menambahkan tidak serta merta langsung terlihat
hasilny, ibarat merawat dan membesarkan anak, semuanya membutuhkan kesabaran.
Menekuni dunia menulis secara serius dengan sebuah harapan di masa depan
membutuhkan sebuah proses.
Awalnya, tulisan
hasil karyanya sering ditolak media. Ikut lomba menulis juga sering kalah.
Namun, setiap kali mengalami kegagalan, ia sampai berpikir lama, sempat merasa
down, kembali ingat bahwa pilihan ini harus dinikmati bukan menjadi sebuah
beban hidup. Ketika menikmati jatuh bangun, ia menjadi tahu bagaimana
meningkatkan kualitas tulisan dan bagaimana mengetahui seluk beluk penerbitan.
Bahkan, pada
akhirnya ia tahu bagaimana menawarkan training motivasi penulisan. Itu semua
dilakukan setelah ia menikmati bangun dan jatuh dalam proses belajar ini. Dan,
itu ia lalui bersama suami, saling mendukung ketika saah satu dari keduanya
mulai melemah.
“Alhamdulillah,
sampai dengan saat ini saya memang sudah menerbitkan 10 buku dari beberapa
penerbit yang berbeda, dipercaya untuk memberikan motivasi menulis dan
meningkatkan minat baca untuk beberapa SMP dan SMA di Jakarta,” ujarnya.
Aida
menambahkan, antara pekerjaan yang dulu dan sekarang, terdapat perbedaan yang
sangat besar. Kalau dulu ia dituntut banyak melakukan negosiasi,
pendekatan-pendekatan dengan banyak lembaga dan pejabat, hampir seharian berada
di luar kantor, dan kembali lagi ke kantor hanya untuk menuliskan laporan
pengembangan saja.
Sedangkan,
pekerjaan yang sekarang banyak dilakukan via e-mail saja. Tidak perlu sampai
bertatap muka. Kecuali, jika ada beberapa hal yang dianggap penting untuk
dibicarakan langsung.
Perbedaan lain
ada pada segi pendapatan. Menjadi freelancer, pendapatnya tak tentu. Dibilang lebih
sedikit tidak juga, malah dalam waktu tertentu bisa lebih besar. Pembedanya hanya
pada momennya saja. Jika dulu setiap tanggal 28 selalu masuk transferan,
sedangkan freelancer tidak rutin pada tanggal yang sama.
*Dimuat, di Leisure Republika 18
Maret 2014.
Selalu semangat dalam berjuang dan tak mengenal putus asa,..siip Mbak Aida.
ReplyDelete