Menikah Untuk Ridha Allah, Bukan Hanya Untuk Anak
Saya
pernah menulis di akun twitter saya bahwa .
“Bohong besar, jika sepasang
suami istri bertahan dalam rumah tangga
hanya karena anak”
Pernyataan saya yang seperti itu
langsung disambut oleh beberapa orang teman penulis lainnya, lalu menikah
karena apa? Tentu saja karena cinta. Cinta sepasang suami istri untuk
mendapatkan ridha Allah dan cinta seorang Ibu dan Ayah untuk memberikan kasih
sayang dan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya.
Beberapa orang pernah menanyai saya, apa hidup saya tidak
pernah punya masalah? Mungkin karena novel yang saya tulis hampir semuanya
romantic dan bahagia. Namun jika diperhatikan lebih detil, saya hanya penulis
biasa yang bisa mengalami patah hati, sakit, kecewa dan kegagalan berulang
kali.
Seperti kata Alm. UJE bahwa
tidak ada yang lebih baik dari seseorang yang menulis dengan orang yang
membacanya. Bahkan dua buku saya YA ALLAH BERI AKU KEKUATAN dan KETIKA
CINTA HARUS PERGI, buku motivasi tentang ujian dan penyemangat diri kini
menjadi semacam cambuk bagi hati saya sendiri untuk berjuang dalam pernikahan
saya. Mempraktekkan apa yang saya sampaika dalam buku tersebut, memotivasi
pembaca dan diri sendiri. Seperti sebuah perjalanan pematangan jiwa yang luar
biasa saya rasakan.
Jadi, saya berani mengatakan bahwa “Bohong besar jika bertahan dalam rumah
tangga hanya karena anak. Tapi menikahlah karena cinta kepada pasangan sehingga
memancarkan cinta pada anak-anak pula.”
Memang tidak ada salahnya ketika bertahan demi anak-anak,
namun perlu diingat bahwa anak-anak adalah sebagian atau setengah dari pasangan
kita. Bagaimana mungkin kita bisa hidup dengan setengah hati, setengah ikhlas
dan setengah yakin dalam menjalankan ibadah pernikahan. Otomatis, ridha-Nya pun
mungkin hanya akan mendapat setengahnya pula.
Baru-baru ini saya sedang diuji
Allah dalam pernikahan saya, disentil dengan sangat keras, bahkan saya hampir saja
tak sanggup bangkit. Pikiran positif saya seolah berperang hebat dengan
perasaan saya. Keinginan bercerai berkelebat di kepala saya, menyudahi
pernikahan mungkin jalan satu-satunya yang terpikirkan saat itu di kepala saya.
Ternyata saya hanya manusia biasa,
saya jatuh, saya down. Berkali-kali saya ingin marah, berteriak, semakin kesal,
semakin tak terkendali. Tapi semakin saya melakukan semua itu saya semakin
sakit, saya semakin terpuruk dan seolah saya lupa Allah punya pertolongan yang
sangat besar dalam cinta saya dan suami saya.
Saya percaya bahwa setiap pasangan
berproses menjadi dewasa, menggapai cinta-Nya, menggapai tujuan nikah yang
disampaikan dalam surah Ar-Rum ayat 21. Bahwa menikah untuk mencapai sakinah,
kedekatan hati, mawaddah, ketenangan jiwa dan wa Rahmah, untuk saling
menciptakan kasih sayang.
Dalam perjalanan menjadi dewasa ini
kerap kali terjadi benturan, mulai dari perbedaan pola pikir,
kebiasaan-kebiasaan yang kemudian dilihat menjadi kekurangan-kekurangan
pasangan, komunikasi yang tidak baik lalu berakhir dengan perselingkuhan, dan
ternyata efek yang terakhir ini fatal menyakiti hati pasangan.
Saya percaya dan mengimani surah Al-baqarah (2) ayat 155-156,
bahwa kita sebagai manusia akan selalu mendapat ujian. Ujian itu di awal, di
tengah atau pun di akhir, intinya kita akan selalu diuji. Bahkan pasangan yang
semula saling mencintai bisa menjadi musuh hati yang paling menyakitkan, Allah
sudah mengingatkan itu jauh-jauh hari dalam ayat-ayat-Nya.
Bertahan dalam pernikahan yang
serasa berada di tepian jurang sebenarnya butuh keyakinan dalam diri kedua
insan yang bersatu di dalamnya. Berproses, sering kali saya menemukan
keangkuhan dalam diri saya, bahwa seolah saya menyerahkan segala sesuatu hanya
pada Ilahi semata, namun saya lupa dalam proses penerimaan, menghadapi sebuah
ujian perlu adanya introspeksi diri. Penyerahan utuh kepada Ilahi, pemilik
hati, pemilik segala daya di bumi ini. Sampai akhirnya saya menyadari bahwa
seberat apapun, sesulit apapun bahwa kita harus melewati proses yang tidak
menyenangkan itu.
Percayakan pada proses, yakinkan
diri bahwa Allah akan segera membantu mengatasi masalah ini. Berhenti melewati
proses berarti berhenti untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Jadi, bagi sahabat yang sedang diuji
dalam pernikahannya, sedang berada di puncak kekesalan yang luar biasa, mari
kita serahkan pada pemilik pemberi ujian. Hati pasangan tak akan berubah jika
kita tak meminta pada Allah, ujian ini akan terus terasa berat saat kita tak
meminta Allah memberi keringanan. Dan laluilah proses ini, percayalah selalu akan
ada jalan yang lebih baik di sisi Allah setelah ujian yang berat ini. Insya
Allah.
Ada tips dari saya yang sudah saya
praktekkan, setiap kali hati menaruh dendam, benci berkepanjangan, bacalah
surah Al-Hasyr ayat 10. Semoga Allah ringankan beban itu.
Jakarta,
11 Mei 2013
Pukul.
21.40 WIB
Aida
MA.
Seperti berkaca baca tulisan ini, makasih untuk tipsnya ya :)
ReplyDeleteSemoga bermanfaat ya Mba vanda :)..proses Ikhlas memang penuh airmata Mba vanda:)
ReplyDeletesalam kenal mba aida, setiap kita pasti diberi ujian, berupa harta tahta dan wanita, tnggal bagaimana melalui ujian tersebut, artikel nya sangat menarik dan bermanfaat, walpun saya belum menikah ..oya mba ida saya sudah kirim data pemenang GA BAW ke email mba leyla..
ReplyDelete