Saatnya Memikat Pembaca Lewat Setting Cerita
Tips Menulis dari saya, bisa dibaca juga di sini
Saatnya memikat pembaca lewat setting cerita
AKHIR-akhir ini banyak sekali novel-novel di pasaran yang fokus utamanya pada tempat atau setting cerita. Termasuk dua novel remaja yang saya tulis menonjolkan setting yaitu Korea di Looking for Mr. Kim dan PulauWeh, Sabang di Sunset in Weh Island.
Memang benar setting punya kontribusi yang sangat penting dalam menciptakan dinamika plot dalam cerita. Bahkan sebuah novel yang memiliki penggambaran setting yang bagus bisa membuat pembaca merasa ada dan mendadak ingin mengunjungi tempat tersebut.
Berikut saya bagi beberapa tips, bagaimana mendapatkan info setting serta menampilkannya dalam sebuah cerita pendek atau novel.
Niat awal
Mungkin ini selalu menjadi cirri khas saya dalam segala hal. Saat kita menentukan sebuah setting, berarti kita siap dengan komitmen untuk mengeksplorasi kota yang menjadi setting tempat dari cerita yang kita pilih. Komitmen untuk melakukan riset, mempelajari budaya, makanan bahkan bahasa yang digunakan oleh warga setempat.
Mengapa perlu komitmen? Karena membuat narasi dalam sebuah cerita, menggambarkan tempat yang belum pernah kita kunjungi itu tidak mudah, sehingga sebagian orang akan berhenti di jalan, dan akhirnya akan terkesan menempelkan saja beberapa info yang didapatkan dalam naskahnya. Karenanya di sini penting niat dan komitmen untuk meriset sedalam mungkin.
Riset
Apa yang ingin ditampilkan dalam sebuah cerita? Misalnya, Frankfurt International Airport. Bagaimana supaya orang lain tahu, bahwa ada skyline di airport tersebut, ada terminal bus, ada terrace visitor dan plang info tentang luas air port.
Dari mana mendapatkan infonya? Yang paling mudah tentu saja kita bisa mencari di google, sebagai pustaka segala ada, info lanjutan bisa lewat buku-buku travelling, bila dana tidak cukup untuk membeli buku-bukunya, bisa nongkrong di toko buku untuk beberapa saat, sumber lainnya bisa didapatkan dari foto-foto tempat yang ingin dijadikan sasaran setting, kumpulkan semua foto-foto lalu pelototin deh semua foto-fotonya, sehingga kita bisa memberitahu kepada pembaca bahwa bandara Incheon itu sangat luas, bersih, dan memiliki kerangka baja yang kokoh di bagian atapnya.
Jika ingin menggambarkan bagaimana indahnya bunga tulip di Belanda atau sakura bermekaran di Jepang, tentu harus melihat foto-fotonya bila penulis belum pernah berkunjung kesana, atau budaya Hanami, yang mungkin bisa dieksplore saat musim semi di Jepang, dan sebagainya.
Dari mana lagi sumber infonya? Untuk bahasa, jangan sungkan-sungkan untuk membeli buku percakapan sehari-hari tentang bahasa untuk sebuah negara yang dijadikan setting, gunakan kamus, dan kalau bisa cari teman yang berada di negara tersebut untuk chatting dan menanyai bagaimana tata bahasa yang benar. Itu pula yang saya lakukan dalam Sunset in Weh Island, karena sebagian menggunakan bahasa Jerman, saya sempat membeli kamus dan komunikasi dengan teman yang jago bahasa Jerman.
Apalagi sumber info lainnya? Peta! Saat menulis Sunset in Weh Island, saya mencari peta pulau itu, menelusurij alan yang digunakan, nama jalan, tempat yang akan digambarkan dalamc erita. Saatmenulis Looking for Mr.Kim, saya mencari peta jalur subway di Korea.
Sumber info yang terakhir saya dapatkan untuk mengembangkan setting yaitu dari Film. Film sangat membantu untukdetil tempat. Ingat bagaimana romantisnya film Winter Sonata dengan setting Namiseon Island yang memukau, setidaknya setelah melihat film tersebut, kita bisa ikut merasakan udara yang dingin, panorama yang indah dsb.
Diksi
Setelah mendapatkan semua info tempat yang dibutuhkan, langkah selanjutnya bagaimana membuat info yang kita dapatkan itu disusun dengan pemilihan diksi yang tidak terkesan seperti teks book. Diksi digunakan agar info-info yang kita dapatkan tidak ditempel dengan kasar, tapi mampu mengikuti alur cerita sehingga menyatu dengan plot. Menyusun diksi, berarti membuat semua organ indera bekerja, seolah-olah kaki kita sedang menginjak lantai airport, terdengar suara berdecit dari sepatu, atau mata ini seolah sedang memandang warna marmer lantai itu agak berwarna abu-abu tua.
Di sinilah perbedaan antara buku travelling dengan penggambaran setting dalam sebuah novel. Info-info tadi bisa diselipkan dalam dialog-dialog ringan dalam cerita. Atau digambarkan lewat narasi yang detil dengan pemilihan diksi-diksi yang baik.
Berikut beberapa contoh dari saya:
“Laki-laki itu melongok lagi ke atas bangunan, seolah-olah matanya sedang mencari sesuatu, tapi ia tidak menemukan apa pun selain sky line kereta api cepat yang melaju kencang dari terminal ke terminal dan bus antar terminal yang berjalan melambat di antara penumpang yang turun turun.”
“Axel berdiri sejenak memandang ombak kecil yang maju mundur menepi di antara pasir putih yang halus. Pohon kelapa tumbuh subur, tapi pohon ketapang sepertinya lebih banyak mendominasi. Beberapa bongkahan karang laut yang sudah kering tersebar di sana sini, jika mendekat sedikit saja mungkin beruntung melihat kepiting-kepiting kecil yang buru-buru lari ke dalam lubang”
Oke, demikian sedikit tips dari saya, semoga bermanfaat, selamat mencoba dan selamat meriset, Happy Writing :-)
Memang benar setting punya kontribusi yang sangat penting dalam menciptakan dinamika plot dalam cerita. Bahkan sebuah novel yang memiliki penggambaran setting yang bagus bisa membuat pembaca merasa ada dan mendadak ingin mengunjungi tempat tersebut.
Berikut saya bagi beberapa tips, bagaimana mendapatkan info setting serta menampilkannya dalam sebuah cerita pendek atau novel.
Niat awal
Mungkin ini selalu menjadi cirri khas saya dalam segala hal. Saat kita menentukan sebuah setting, berarti kita siap dengan komitmen untuk mengeksplorasi kota yang menjadi setting tempat dari cerita yang kita pilih. Komitmen untuk melakukan riset, mempelajari budaya, makanan bahkan bahasa yang digunakan oleh warga setempat.
Mengapa perlu komitmen? Karena membuat narasi dalam sebuah cerita, menggambarkan tempat yang belum pernah kita kunjungi itu tidak mudah, sehingga sebagian orang akan berhenti di jalan, dan akhirnya akan terkesan menempelkan saja beberapa info yang didapatkan dalam naskahnya. Karenanya di sini penting niat dan komitmen untuk meriset sedalam mungkin.
Riset
Apa yang ingin ditampilkan dalam sebuah cerita? Misalnya, Frankfurt International Airport. Bagaimana supaya orang lain tahu, bahwa ada skyline di airport tersebut, ada terminal bus, ada terrace visitor dan plang info tentang luas air port.
Dari mana mendapatkan infonya? Yang paling mudah tentu saja kita bisa mencari di google, sebagai pustaka segala ada, info lanjutan bisa lewat buku-buku travelling, bila dana tidak cukup untuk membeli buku-bukunya, bisa nongkrong di toko buku untuk beberapa saat, sumber lainnya bisa didapatkan dari foto-foto tempat yang ingin dijadikan sasaran setting, kumpulkan semua foto-foto lalu pelototin deh semua foto-fotonya, sehingga kita bisa memberitahu kepada pembaca bahwa bandara Incheon itu sangat luas, bersih, dan memiliki kerangka baja yang kokoh di bagian atapnya.
Jika ingin menggambarkan bagaimana indahnya bunga tulip di Belanda atau sakura bermekaran di Jepang, tentu harus melihat foto-fotonya bila penulis belum pernah berkunjung kesana, atau budaya Hanami, yang mungkin bisa dieksplore saat musim semi di Jepang, dan sebagainya.
Dari mana lagi sumber infonya? Untuk bahasa, jangan sungkan-sungkan untuk membeli buku percakapan sehari-hari tentang bahasa untuk sebuah negara yang dijadikan setting, gunakan kamus, dan kalau bisa cari teman yang berada di negara tersebut untuk chatting dan menanyai bagaimana tata bahasa yang benar. Itu pula yang saya lakukan dalam Sunset in Weh Island, karena sebagian menggunakan bahasa Jerman, saya sempat membeli kamus dan komunikasi dengan teman yang jago bahasa Jerman.
Apalagi sumber info lainnya? Peta! Saat menulis Sunset in Weh Island, saya mencari peta pulau itu, menelusurij alan yang digunakan, nama jalan, tempat yang akan digambarkan dalamc erita. Saatmenulis Looking for Mr.Kim, saya mencari peta jalur subway di Korea.
Sumber info yang terakhir saya dapatkan untuk mengembangkan setting yaitu dari Film. Film sangat membantu untukdetil tempat. Ingat bagaimana romantisnya film Winter Sonata dengan setting Namiseon Island yang memukau, setidaknya setelah melihat film tersebut, kita bisa ikut merasakan udara yang dingin, panorama yang indah dsb.
Diksi
Setelah mendapatkan semua info tempat yang dibutuhkan, langkah selanjutnya bagaimana membuat info yang kita dapatkan itu disusun dengan pemilihan diksi yang tidak terkesan seperti teks book. Diksi digunakan agar info-info yang kita dapatkan tidak ditempel dengan kasar, tapi mampu mengikuti alur cerita sehingga menyatu dengan plot. Menyusun diksi, berarti membuat semua organ indera bekerja, seolah-olah kaki kita sedang menginjak lantai airport, terdengar suara berdecit dari sepatu, atau mata ini seolah sedang memandang warna marmer lantai itu agak berwarna abu-abu tua.
Di sinilah perbedaan antara buku travelling dengan penggambaran setting dalam sebuah novel. Info-info tadi bisa diselipkan dalam dialog-dialog ringan dalam cerita. Atau digambarkan lewat narasi yang detil dengan pemilihan diksi-diksi yang baik.
Berikut beberapa contoh dari saya:
“Laki-laki itu melongok lagi ke atas bangunan, seolah-olah matanya sedang mencari sesuatu, tapi ia tidak menemukan apa pun selain sky line kereta api cepat yang melaju kencang dari terminal ke terminal dan bus antar terminal yang berjalan melambat di antara penumpang yang turun turun.”
“Axel berdiri sejenak memandang ombak kecil yang maju mundur menepi di antara pasir putih yang halus. Pohon kelapa tumbuh subur, tapi pohon ketapang sepertinya lebih banyak mendominasi. Beberapa bongkahan karang laut yang sudah kering tersebar di sana sini, jika mendekat sedikit saja mungkin beruntung melihat kepiting-kepiting kecil yang buru-buru lari ke dalam lubang”
Oke, demikian sedikit tips dari saya, semoga bermanfaat, selamat mencoba dan selamat meriset, Happy Writing :-)
Jakarta, 27 Maret 2013
Pukul 15.43 WIB
Aida, MA
Penulis Novel
Comments
Post a Comment