It Takes Two to Tango
Gambar dari sini |
Saya yakin kita sering mendengar pepatah satu ini, dibutuhkan
dua orang untuk dapat berdansa atau mudahnya saja istilah ini bermakna gayung
bersambut. Gayung bersambut berarti ada dua pihak yang ikut terlibat. Ada pihak
memberi dan ada pihak menerima. Jika ada yang memberi cinta maka ada yang
menerima cinta, kira-kira begitulah makna sederhananya (kalau saya salah,
silahkan dibenarkan :))
Kemaren saya berdiskusi kecil dengan seorang sahabat. Diskusi kecil itu lahir
berdasarkan beberapa judul note saya yang sedikit kontroversi menurutnya. Mulai
dari Kepada Wanita yang ditiduri ayahku, Kepada Wanita yang suaminya kurindui,
Wahai Lelaki Dulu. Dan beberapa tulisan lainnya yang semua intinya menceritakan
tentang sebuah affair.
Saya tergelitik ketika sahabat saya berfikir bahwa saya pembela “wanita kedua”
dalam sebuah hubungan pernikahan. loh, bagaimana ceritanya?
Saya wanita menikah, salah rasanya jika saya dianggap membela “wanita
kedua”. Semua pasangan yang menikah pasti memahami bahwa hubungan
pernikahan bukan semata hubungan legalitas kebutuhan biologis semata. Bahkan
lebih dari itu mengacu pada ibadah, tanggung jawab, amanah sehingga ibadah satu
ini disamakan dengan ibadah setengah ad-dien. Hubungannya secara vertical ke
atas pada Tuhan dan horizontal ke samping pada orang-orang yang kita kasihi.
Saya menganggap sebuah affair adalah sebuah hubungan sebab akibat. Sebab saya
tidak puas dengan pasangan saya makanya saya tertarik pada yang lain. sebab
saya pernah mengharapkannya dulu, ternyata kesempatan mendapatkannya hanya hari
ini. Sebab dia lebih menarik dari pasangan saya makanya saya jatuh cinta
padanya. Sebab kebutuhan seks saya tak terpenuhi dengan baik makanya saya
mencari wanita yang lain. sebab pasangannya saya terlalu cemburu, ya sudah
dibenarkan saja. Bahkan ada sebab yang sangat sering dilontarkan sebagai alasan
sebuah affair. Sebab Tuhan menitipi cinta ini di hati saya, dan saya tak kuasa
untuk menolaknya *beuhhhhhh*
Terlepas dari sebab-sebab di atas, sebuah affair tidak akan terjadi jika tidak
ada yang meng-amini. Bagaimana bisa ada asap jika tidak ada yang menyalakan
api? Bagaimana bisa kebasahan jika tidak ada yang menyiramkan air? Lalu siapa
yang mau selingkuh dengan siapa? jika hatinya bertepuk di satu sisi saja?.
Pernyataan saya yang seperti inilah, yang menyulut nada agak tinggi dari
sahabat saya, bahwa saya dianggap telah membela “wanita kedua”. Silahkan
lempari saya hujatan jika benar saya membela orang yang berbuat kesalahan.
Dalam kehidupan kita, di depan mata saya sendiri, bahkan sebagian besar
lingkungan kita membuat sebuah stereotype bahwa “wanita kedua” terutama pihak
wanita digambarkan semacam trouble maker, seperti hantu dalam biduk pernikahan.
Jika melihat acara di televisi, di sinetron-sinetron Indonesia yang tak
habis-habis episodenya itu terlihat gambaran wanita kedua diseret-seret,
dijambak-jambak, dihina-hina demikian sadisnya. Sumpah, Saya ingin
tertawa ngakak melihat adegan yang seperti ini.
“Kalau suamimu tidak mau, mana mungkin semua ini terjadi. Jangan kau tuduhi aku
telah mengiriminya gula-gula dalam secangkir kopi sorenya”.
Kembali saya bertanya pada sahabat saya. Apa benar sebuah affair terjadi hanya
karena ada penggoda? Jika si suami atau si istri tidak mau, walaupun telah
digoda dengan berbagai macam cara, tetap saja tidak akan berhasil. Atau
jangan-jangan justru pasangan kita sendiri yang berperan menjadi penggoda?
Karena tak bisa menerima kenyataan lalu kita menimpakannya pada pihak ketiga?.
Saya setuju, bagaimanapun keadaannya affair tetap sebuah kesalahan. Bagaimana
mungkin ketika pasangan sudah selingkuh lalu kita menyalahkan diri kita
sendiri, karena kurang cantik, karena kurang seksi, karena kurang kaya dan
banyak kurang-kurang yang lainnya. Saya fikir ini sebuah sikap yang TERLALU.
Bukankah dulu pasangan menikahi kita karena kekurangan-kekurangan itu, sehingga
ia menikahi kita bukan menikahi yang lain.
Saya tak ingin menunjuk siapa benar siapa salah dalam kasus seperti ini. Tapi
jika saya dimintai pendapat, yang pertama kali harus ditegur adalah pasangan
kita sendiri. Begitu banyak berkurangkah cinta ini sehingga begitu mudahnya
menyakiti hati?. Jika kemudian harus ada introspeksi dan ada yang perlu
dibenahi adalah cinta dalam hati kita masing-masing.
Lalu wanita kedua atau lelaki idaman lainnya? Bukankah mereka hanya pihak luar
yang hanya bisa masuk jika kita ijinkan? Yang hanya bisa mengacak-acak cinta
ini jika kita memberinya kesempatan?. Jika tak ada ijin itu, jika tak ada
kesempatan itu, merekapun akan mundur teratur dan memilih pergi. Jika tak ada
yang berani mundur silahkan lapor pak polisi saja (nyengir dulu).
Sekali lagi, menurut saya affair bukan semata karena ada penggoda, namun
karena kita mengijinkan untuk digoda. Tulisan ini hanya pendapat pribadi saya.
Jika ada yang berpendapat lain, sah-sah saja, dan sepertinya saya harus stop di
sini. Saya takut dilempari sambal karena ada yang kurang sependapat dengan
saya.
Selamat Pagi semua.... Happy Weekend
Jakarta, 9 Juli 2011
Pukul 06.23 wib
Aida M Affandi
Comments
Post a Comment